Dua Abad Perjuangan Nona dari Negeri Abubu, Martha Christina Tiahahu

Saparua, 11 Oktober 2017

Siang hari seusai makan di rumah Mama piara masing-masing, kami bergegas menuju Benteng Duurstede di Saparua Kota. Dari Negeri Tiouw, kami berjalan kaki dengan sesekali disuguhi pemandangan rempah-rempah macam cengkeh dan pala sedang dijemur di halaman rumah warga yang menghadap jalan raya.

Duurstede amat lenggang. Selain kami, siang itu hanya ada satu rombongan turis asing yang kedapatan mendengar kisah dari Bapa Ulis Supusepa, pemandu yang nantinya juga menjelaskan tentang segala sesuatu di benteng ini kepada kami. Cerita sejarah yang dikisahkan oleh Bapa Ulis makin mantap apabila kita mau berkeliling sejenak di ruang dorama di bagian timur benteng.

di ruang dorama benteng Duurstede.
Tatkala menuruni tangga setelah pintu masuk, kami disambut oleh dua gambar besar yang di dalamnya melukiskan wajah dua pahlawan Maluku yang jasanya juga amat besar; Thomas Matulessy atau yang biasa dikenal sebagai Kapitan Pattimura, dan Martha Christina Tiahahu. Berbeda dengan Thomas Matulessy yang berasal dari Saparua, Martha C Tiahahu merupakan pejuang perempuan dari Nusa Laut, tepatnya di negeri Abubu. Kisah heroiknya turut terekam di benteng Duurstede Saparua sebab dirinya menjadi salah satu pejuang yang ikut dalam pemberontakan melawan penjajah di pulau ini.

Mengenang 2 Abad Perjuangan Martha Tiahahu

Lahir di Abubu, Nusa Laut yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Martha Chritina Tiahahu merupakan putri dari Kapitan Paulus Tiahahu. Ia lahir 4 Januari 1800 dari rahim seorang wanita bernama Sina, asal negeri Titawai Nusa Laut.

14 mei 1817 saat terjadi pertemuan besar di Gunung Saniri, Saparua, Kapitan Paulus Tiahahu meminta ijin kepada Kapitan Pattimura untuk mengajak serta anaknya yang saat itu berusia 17 tahun untuk ikut memanggul senjata dan mendampingi sang ayah di medan perjungan. Permintaan ini bukan atas inisiatif sang ayah, akan tetapi kemauan Martha Christina selaku putri sulungnya. sejak saat itu, Martha Christina Tiahahu mendampingi ayahnya di tengah pertempuran melawan Belanda.

Aksinya sebagai remaja putri yang berani juga turut memompa semangat kaum wanita dalam pertempuran di Negeri Ouw dan Negeri Ullath, Saparua, untuk ikut serta membantu peperangan. Namun sayang, kedua negeri ini --yang merupakan pertahanan terakhir rakyat-- dibumihanguskan oleh Belanda. Semua pimpinan perang ditangkap, termasuk Martha Tiahahu dan ayahnya. Para pimpinan perang ini ditawan dalam kapal perang Eversten untuk kemudian dijatuhi hukuman.

Kapitan Paulus Tiahahu dijatuhi hukuman mati, ia dibunuh oleh pasukan Belanda di belakang benteng Beverwijck Nusalaut. Martha Christina Tiahahu yang saat itu dianggap terlalu muda, dia dibebaskan dari hukuman mati, akan tetapi ditawan oleh Belanda untuk dibawa ke Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan.

Di dalam pelayaran menuju Jawa, Martha Christina Tiahahu menolak untuk makan, hingga ia jatuh sakit akan tetapi tetap saja menolak untuk diobati oleh Belanda. Perlawanan di atas kapal Eversten yang dilakukan oleh Martha Tiahahu akhirnya disudahi dengan kematiannya yang jatuh pada 2 Januari 1818, tepat dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-18.

Di Laut Banda, jenazah Martha Christina Tiahahu dilarungkan. Menjadikan tempat ini sebagai taman bahagia pejuang perempuan asal Maluku yang sekaligus sebagai pahlawan nasional. Kisah heroiknya selalu terkenang di dalam hati basudara di Maluku. Sebagai bentuk penghormatan, di Karang Panjang, Ambon, dibangun patung Martha Christina Tiahahu yang menghadap ke laut. Menurut temanku, Wanda, posisi patung yang dihadapkan ke laut disimbolkan sebagai seorang Martha Tiahahu sedang melihat jenazahnya yang dilarungkan di Laut Banda.

Lagu untuk Nona Manis dari Negeri Abubu

Selain kami --tim Ekspedisi Jalur Rempah Pulau Saparua-- terdapat empat tim di pulau lain, salah satunya Nusalaut. Saat bertemu di Ambon, teman-teman Nusalaut banyak sekali menyanyikan lagu yang berkaitan dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu yang juga berasal dari Nusalaut. Menurut rekan kami di tim Nusalaut, Bang Jeha, lagu-lagu ini dinyanyikan saat momen penting macam penyambutan tim, upacara pelepasan, hingga satu lagu yang mereka dapat dari Raja negeri Abubu.

Dari sekian lagu tersebut, satu lagu berjudul Nona Manise. Liriknya kudapat dari Mas Dawan --yang juga tim Nusalaut-- dan dilengkapi oleh irama lagu yang direkam oleh Bang Jeha. Nona Manise menceritakan tentang perjuangan Martha Christina Tiahahu yang berjuang akibat kesewenang-wenangan penjajah Belanda dalam memonopoli rempah-rempah --pala dan cengkeh-- di Maluku.

Saat ini, mungkin musim sedang tidak bersahabat dengan rempah-rempah macam pala dan cengkeh di Maluku. Namun, beratus tahun lalu, harum buah pala dan bunga cengkeh inilah yang akhirnya membawa bangsa barat datang ke tanah Maluku sebagai salah satu penghasil rempah-rempah di Nusantara. Kedatangan mereka membuat pahlawan macam Martha Tiahahu bergerilya melawan Belanda yang telah merusak tatanan ekonomi, sosial dan politik masyarakat Maluku atas nama rempah-rempah.

(lirik lagu Nona Manise)

4 Januari 2018

218 tahun lalu, Martha Christina Tiahahu dilahirkan. 17 tahun setelahnya, ia berjuang mendampingi sang ayah untuk melawan ketidak adilan. Saat termenung usai membaca biografi singkat nona dari Negeri Abubu di dorama benteng Duurstede Oktober lalu, aku seolah kehabisan kata-kata. Di usia 17 tahun, Martha C Tiahahu sudah tahu tentang apa yang harus dilakukannya untuk orang banyak, sedangkan aku yang 2 Abad kemudian membaca kisahnya --terlebih di usiaku yang sudah menginjak 20 tahun-- bahkan masih sibuk mengurusi kebahagiaan diri sendiri.

Siang itu, sebagai langkah kecil terhadap penghormatanku kepada beliau, aku berjanji untuk menulisakan sedikit kisah Martha Christina Tiahahu dari apa yang sudah kudapat di ekpedisi jalur rempah, tepat di hari ulang tahunnya pada 4 januari 2018. Bukan apa-apa, aku hanya ingin teman-temanku turut mengetahui kisah perjuangan Martha Tiahahu, tentang seorang remaja putri pemberani dari Negeri Abubu, Nusalaut, Kepulauan Lease, Maluku Tengah.

Aku ingin siapapun yang nantinya membaca tulisan ini tahu, bahwa di Laut Banda yang luas, bersemayam Martha Christina Tiahahu tepat dua abad pada 2 Januari lalu. Jika kita mau berlayar jauh dari Tulehu menuju arah tenggara, melewati Laut Banda yang luas, kita akan bertemu dengan gugusan pulau di Kepulauan Banda yang keindahannya cukup diperhitungkan --pun merupakan salah satu tempat yang ingin kutinggali dalam beberapa waktu di masa depan--. Dari kisah Martha Tiahahu dan Laut Banda, aku jadi tersadar jika dibalik keindahannya, terdapat kisah pilu yang seolah sebanding dengan keelokan yang ditawarkan.

Berkenalan dengan banyak teman berlatar belakang ilmu sejarah di ekspedisi jalur rempah, membuatku makin yakin jika kisah-kisah sejarah --seperti perjuangan Martha Tiahahu yang kutulis ini-- amat penting untuk dipelajari dan dimaknai sampai membuat hati haru. Agar kita, sebagai manusia pasca penjajahan, dapat lebih arif dalam melihat kehidupan.

Terakhir, Selamat ulang tahun, Martha Christina Tiahahu! Semoga selalu bahagia di seberang, katong yang tinggal teruskan perjuangan e :)

Komentar

Posting Komentar

Kisah lainnya

Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.

Salam Manis dari Maluku